BBN(Bahan Bakar Nabati) :
Energi Alternatif
Seringkali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam berbagai
kesempatan selalu menegaskan, fenomena dan realitas global belakangan ini
mengharuskan kita semua untuk menggeser paradigma dan mindset. Hal ini berkaitan
dengan harga minyak bumi yang makin tak menentu, disamping ketersediaan BBM
(Bahan Bakar Minyak) dalam negeri yang makin terbatas. Paradigma baru itu
adalah mengubah ketergantungan terhadap fossil based fuel menuju ke energi
alternatif yang non fossil based fuel.
Seringkali terjadi kelangkaan minyak tanah, BBM premium,
sehingga menyulitkan masyarakat dalam berusaha, harga fluktuatif di tingkat
pengecer, menjadkan kebutuhan pokok lain ikut menaikkan harga dengan alas an
susahnya mencari BBM untuk transportasi. Pada
2 Juli lalu, Presiden SBY mengadakan Rapat Terbatas di Losari, Magelang, Jawa
Tengah, untuk membahas master plan pengembangan biofuel atau bahan bakar nabati
(BBN) sebagai energi alternatif masa depan.
Tujuannya yang disapaikan presiden adalah pertama, untuk
kepentingan security of energy supply. Kedua, menciptakan lapangan kerja yang
lebih besar di sektor pertanian. Dengan terbukanya lapangan kerja di sektor pertanian dan pedesaan, diharapkan
kemiskinan akan berkurang. “Ekonomi lokal bergerak, ekonomi nasional bergerak,
dan kita punya penghematan devisa untuk mengimpor BBM dan bisa kita gunakan
untuk yang lain,” kata Presiden SBY di Losari. Untuk mengembangkan BBN ini,
Presiden SBY menegaskan diperlukan setidaknya lima faktor pendukung. Pertama,
ketersediaan lahan. Kedua, mesin atau pabrik-pabrik untuk mengolah hasil
pertanian tersebut. Ketiga, infrastruktur. Keempat, pasar untuk menjamin
produksi akan terserap. Kelima, pendanaan.
Ada empat komoditas yang bisa dimanfaatkan dengan bahan baku
yang banyak diproduksi di Indonesia untuk dijadikan bahan bakar nabati.
Misalkan Tebu dan singkong untuk diolah menjadi etanol, banyak tersedia di
Lampung, demikian juga kelapa sawit melimpah di Sumatra, Kalimantan dan biji
jarak untuk biodiesel. Seperti halnya biji jarak banyak ditanam masyarakat,
namun pabrik sementara ini yang akan memproduksi belum tersebar di berbagai
daerah di Indonesia. Dengan demikian masyarakat masih kesulitan/banyak hambatan
dalam memasarkan hasil tanamannya. Masyarakat akan senang menanam jarak ini
dengan system tumpangsari terutama dilahan yang kurang produktif, atau
dipinggir-pinggir batas pekarangan. Paling tidak ada harapan tambahan masukan
untuk nambah penghasilan kebutuhan pangannya, walaupun hanya sekedar tambahan.
Harapan masyarakat agar seluruh pemda dapat mengusahakan dapat membantu
masyarakat petani jarak agar harga jual layak dan mudah menjualnya.
0 komentar:
Posting Komentar